Banner IDwebhost

Monday, February 15, 2016

Filosofi Tokoh Wayang Semar dalam Kebudayaan Jawa

| Monday, February 15, 2016
Sebagai orang Jawa, tentu sudah tidak asing lagi dengan yang namanya wayang. Karena wayang kulit ini sangat identik dengan kesenian dari Jawa. Pertunjukan wayang biasanya dimainkan oleh dalang dan seringkali dipentaskan semalam suntuk. Lakon yang dimainkan pun juga bermacam-macam. Umumnya mengangkat kisah Mahabharata dan Ramayana.

Ada salah satu tokoh wayang yang selalu dijadikan sebagai sang penyampai pesan itu, tak lain dan tak bukan adalah Semar.

Semar dalam dunia pewayangan adalah manusia setengah dewa penjelmaan Sang Hyang Ismaya. Semar sendiri berasal dari kata tan samar, artinya tidak tertutupi oleh tabir. Terang trawaca cetha tur wela-wela sangat jelas tanpa terselubungi sesuatu. Semar adalah sosok yang nyata dan tidak nyata. Ada dalam tiada, tiada tetapi ada. Keberadaannya memang dimaksudkan untuk menjaga ketentraman di muka bumi (memayu hayuning bawana) dan ketentraman antar sesama umat manusia (memayu hayuning sasama). Sebagai titah atau makhluk Semar mengemban amanat untuk ngawula (mengabdi) berupa dharma atau amalan baik kepada bendara alias juragan bin majikan, juga kepada bangsa dan negara. Ini dibuktikan ketika Jonggring Saloka kayangan para dewa bergejolak, maka Semar turun tangan lewat Semar Mbangun Kayangan (Semar membangun Kayangan). Begitu muncul ketidakadilan dan ketidakbenaran sistem, maka Semar pun tergerak dalam Semar Gugat (Semar Menggugat), dan masih banyak lagi.

Yang menarik pada sebagian masyarakat Jawa masih menganggap Semar merupakan sosok filosofis yang diyakini menjadi pamong para kesatria agung. Siapapun tokoh yang berdekatan dengan Semar dan dari mana ia berasal akan merasa tentram dan ujung-ujungnya mengalami pencerahan. Bapak dari tokoh punakawan Gareng, Petruk, dan Bagong ini seolah tidak pernah mengenal kata sedih. Bicaranya spontan tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur. Sehingga orang yang sedih menjadi gembira, mereka yang susah bisa tertawa. Itulah Semar yang tumakninah mengawal kebenaran dan hati nurani pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.


S E M A R

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranoyo
Bebrodo = Membangun sarana dari dasar
Noyo = Nayoko = Utusan mangrasul 
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah untuk kesejahteraan manusia 

Filosofi, Biologis Semar

Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik".

Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar "kuncung" (jarwodoso/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.

Ciri sosok semar adalah:
  1. Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
  2. Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan 
  3. Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa 
  4. Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok 
  5. Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya. 
Dalam lakon wayang kulit sebenarnya ada tokoh punakawan yang lain yang merupakan “anak-anak” dari Semar, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Menurut salah satu literatur disebutkan bahwa sesungguhnya Gareng, Petruk dan Bagong bukanlah anak kandung Semar. Gareng sebenarnya adalah putra seorang pendeta yang dikutuk dan Semarlah yang telah berhasil membebaskan kutukan itu. Petruk sendiri sebenarnya adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sedangkan Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Namun demikian hanya tokoh Semar saja yang selalu hadir di setiap lakon apapun. Baik itu dalam pewayangan Jawa Tengah, pewayangan Sunda, ataupun pewayangan Jawa Timuran. Sementara ketiga punakawan yang lain belum tentu ada.

Artinya tokoh Semar dianggap sebagai figur sentral dalam setiap pementasan wayang kulit karena merupakan sang penyampai pesan. Tentu saja gaya penyampaian pesan ala Semar tidaklah seserius tokoh wayang yang lain karena pada dasarnya Semar seringkali berbicara sambil bercanda. Nah, disinilah letak menariknya tokoh Semar. Serius, tapi juga santai. Dengan cara “sersan” inilah mungkin diharapkan pesan moral lewat tokoh Semar, lebih mudah diterima dan dicerna oleh setiap penikmat pertunjukan wayang.

Dalam kisah Mahabharata, Semar ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh dari para Pandawa yang merupakan keturunan Resi Manumanasa. Sementara dalam kisah Ramayana, Semar juga ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh Sri Rama dan Sugriwa. Sehingga boleh dikata tokoh Semar akan selalu muncul dalam setiap pementasan wayang kulit, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan. Dalam hal ini Semar tidak hanya berperan sebagai abdi atau pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Semar dikisahkan bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan merupakan penjelmaan dari Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru yang sekaligus juga merupakan raja para dewa. Memang ada beberapa versi tentang asal-usul dari tokoh Semar ini. Namun semua pada dasarnya menyebut bahwa tokoh ini merupakan penjelmaan dari dewa. Semar juga merupakan lurah yang berdomisili di Karangdempel. Karang berarti gersang. Sedangkan dempel berarti keteguhan jiwa.

Kalau kita perhatikan, betapa banyak filosofi dari tokoh Semar ini yang sangat mengagumkan. Dalam filosofi Jawa, Semar disebut dengan Badranaya. Berasal dari kata bebadra yang artinya membangun sarana dari dasar dan naya atau nayaka yang berarti utusan. Maksudnya mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia. Secara Javanologi, Semar berarti haseming samar-samar. Sedangkan secara harafiah, Semar berarti sang penuntun makna kehidupan.

Secara fisik, Semar tidak laki-laki dan bukan pula perempuan. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, yang merupakan simbol dari pria dan wanita. Tangan kanan Semar ke atas, maknanya bahwa sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbol Sang Maha Tunggal. Sedang tangan kirinya ke belakang, bermakna berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik.

Semar berambut “kuncung” seperti anak-anak. Maknanya hendak mengatakan bahwa akuning sang kuncung, yaitu sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan melayani umat tanpa pamrih untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan perintah Allah. Ketika barjalan, Semar selalu menghadap keatas. Maknanya adalah dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas atau Tuhan Yang Maha Pengasih serta Penyayang umat.

Selain itu Semar juga selalu mengenakan kain jarik motif Parangkusumorojo, yang merupakan perwujudan Dewonggowantah atau untuk menuntun manusia agar memayuhayuning bawono, yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.

Ciri fisik Semar yang sangat unik lainnya adalah bentuk tubuhnya yang bulat. Ini merupakan simbol dari bumi atau jagad raya, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar juga tampak selalu tersenyum, tapi matanya sembab. Ini menggambarkan simbol suka dan duka. Wajahnya tampak tua, tapi rambutnya berkuncung seperti anak kecil. Ini merupakan simbol tua dan muda. Ia merupakan penjelmaan dewa, tetapi hidup sebagai rakyat jelata. Ini merupakan simbol dari atasan dan bawahan.

Bagi saya Semar mempunyai banyak keistimewaan. Selain ciri-ciri fisik, keistimewaan Semar yang lain adalah tentang statusnya. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya disejajarkan dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Menurut versi aslinya, penasehat pihak Pandawa dalam perang Baratayuda adalah Kresna. Akan tetapi dalam pewayangan, penasehat Pandawa menjadi dua yaitu Kresna dan Semar.

Sering dikisahkan bahwa senjata Semar adalah kentut. Konon kentut Semar ini bisa membuat pusing para punggawa keraton yang tidak menjalankan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan kata lain ada saja pejabat keraton yang melakukan tindakan melawan hukum yang merugikan masyarakat.

Sebagai penjelmaan dewa, Semar dikenal juga sangat arif dan bijaksana. Bisa bergaul dengan siapa saja, baik dengan kalangan atas maupun kalangan bawah. Selain itu juga tanggap terhadap perubahan jaman. Akan tetapi jika menemukan ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang, maka Semar akan dengan tegas melakukan tindakan preventif, persuasif dan represif. Bisa dikatakan kalau Semar ini rela mempertaruhkan segalanya demi amanat yang diterimanya dari Sang Maha Kuasa.

Bila kita cermati ucapan Semar setiap kali mengawali dialog : “mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…” Yang artinya diam, bergerak atau berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi. Maksudnya dari ucapan Semar itu kira-kira begini, daripada diam (mbergegeg) lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng). Benar-benar sebuah pesan moral yang sangat dalam agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah, walaupun hasilnya hanya cukup untuk makan, namun kepuasan yang didapat karena berusaha tersebut akan abadi.

Semar seolah-olah tidak pernah mengenal kata sedih. Bila berbicaranya selalu spontan, tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur sehingga orang yang sedih menjadi gembira. Orang yang sedang susah bisa tertawa. Itulah sosok Semar yang selalu tumakninah, mengawal kebenaran dan hati nurani para Pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.

Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah, yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar, mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka bisa dipastikan negara yang dipimpinnya akan menjadi nagara yang unggul dan sentosa.

Sekarang coba kita perhatikan para pejabat di negara kita. Apakah mereka sudah benar-benar mengemban amanat rakyat? Apakah mereka berani mempertaruhkan segalanya demi kebenaran? Ah, sepertinya koq masih jauh dari angan-angan ya. Mungkin para pejabat di negara kita ini perlu kali ya belajar dari sosok Semar. Karena dengan memahami falsafah Jawa dan perilaku Semar tadi pasti akan diperoleh banyak manfaat bagi kehidupan di dunia ini. Dan yang pasti jika semua pejabat kita bisa mencontoh sosok Semar, niscaya negara kita akan menjadi negara yang makmur, gemah ripah loh jinawi.

Sumber: Filsafat.kompasiana.com
loading...

Related Posts

No comments:

Post a Comment